Pengurusan Parkir di Jakarta Janganlah Cuma Buru Retribusi – Pengelolaan parkir di Jakarta janganlah cuma buat mengejar pemasukan.
Penguasa Provinsi DKI Jakarta diimbau buat mendesak digitalisasi perparkiran supaya kemampuan pemasukan dari parkir dapat diawasi. Pemakaian kartu parkir ditaksir rawan kecurangan. Walaupun begitu, perbaikan parkir janganlah cuma berpusat pada mencari pungutan. Supaya efisien, penguasa tidak bisa menyudahi di sana saja, jumlah kantung parkir di pusat pemindahan biasa pula wajib jadi atensi.
Pimpinan Komisi B Badan Perwakilan Orang Wilayah( DPRD) Wilayah Spesial Jakarta Nova Harivan Paloh mengatakan, Biro Perhubungan Jakarta butuh mendesak digitalisasi dalam pengurusan parkir. Metode ini ditaksir butuh supaya kemampuan pungutan parkir dapat digali dengan maksimal.
Saat ini, DPRD Jakarta lagi mangulas perkara parkir ini dengan membuat Badan Spesial Parkir( Pansus). Dalam ulasan, salah satu saran penting merupakan digitalisasi serta pembaharuan kedudukan ahli parkir di alun- alun.
Bagi ia, sistem digital hendak mendesak kejernihan dari bisnis parkir sebab langsung tersambung dengan pusat informasi penguasa. Belum lagi, sistem buku petunjuk dengan karcis kartu ditaksir rawan kebocoran.
” Sepanjang ini kita memandang kemampuan pungutan parkir lenyap, spesialnya di posisi parkir buas. Butuh penilaian supaya pengurusan parkir lebih maksimum,” ucapnya di Jakarta, Selasa( 1 atau 7 atau 2025).
Tidak hanya digitalisasi, terdapat pula usulan buat memasang kamera pemantau di titik parkir di Jakarta. Beliau mengatakan, tahap itu dapat jadi langkah sambungan. Prioritas penting saat ini merupakan membuat prasarana digital.
” Jika sistem digital, kita dapat ketahui masing- masing hari berapa pendapatan tiap hari dari parkir di ruas A, B serta C. Ini hendak amat menolong penguasa memantau serta menilai,” ucap Novan.
Senada dengan perihal itu, Delegasi Pimpinan Komisi B DPRD Jakarta Ajaran Dewanto memohon penguasa wilayah tidak lagi memungut parkir dengan cara kas. Perihal ini diharapkan dapat diaplikasikan di semua parkir yang diatur Bagian Pengelola Perparkiran Jakarta. Tujuannya yakni penguasa tidak kehabisan kemampuan pungutan. Kebocoran pemasukan dari zona itu bisa ditambal.
Tidak hanya itu, penguasa lewat Biro Perhubungan Jakarta supaya mempersiapkan sarana parkir serta pergi ataupun( park and ride) di beberapa titik pusat kemeriahan. Sarana ini dapat dibentuk di dekat perkantoran, pusat perbelanjaan, pula area pinggiran mengarah Jakarta.
” Kamera pengawas pula berarti, pengawasan wajib nyata, biar teratur serta pendapatannya meningkat,” tutur Ajaran.
Angkutan umum
Pengurusan parkir di Jakarta wajib berintegrasi dengan aturan kotanya. Tidak hanya itu, parkir buas yang mencuat ditengarai sebab ketergantungan kepada alat transportasi individu serta sedikitnya pemakaian angkutan biasa.
Periset Tua Institut Riset Pemindahan Dedy Herlambang menarangkan, Penguasa Provinsi Jakarta butuh merevisi ketentuan Koefisien Lantai Gedung yang mengharuskan developer bangunan buat membagikan ruang sebesar 30- 40 persen buat parkir. Perihal ini membuat ketergantungan kepada alat transportasi individu bertambah.
Melonjaknya ketergantungan tidak diiringi dengan ketersediaan tempat parkir alhasil parkir buas menjamur. Beliau mengatakan, area bidang usaha ataupun perkantoran yang telah dilewati banyak pemindahan biasa sepatutnya dilarang buat membuat zona parkir yang sedemikian itu besar.
Beliau memeragakan, gedung- gedung di selama Koridor 1 Transjakarta dari Gulungan M- Kota sedang mempunyai zona parkir besar. Perihal ini mengakibatkan orang memakai alat transportasi individu. Sementara itu, pemindahan biasa di koridor itu telah lumayan mencukupi, mulai dari berplatform bis sampai jalan kereta api.
Dedy mengatakan, Jakarta selaku kota garis besar dapat bercermin sistem pemindahan biasa di Tokyo, Jepang serta Hong Kong. Bagi ia, penguasa tidak sediakan zona parkir yang besar di pusat- pusat area bidang usaha.
Perihal itu membuat nyaris 60- 90 persen warganya, tercantum kategori menengah atas memakai pemindahan biasa. Apabila dicoba di Jakarta, dengan cara lama- lama, adat pemakaian alat transportasi individu yang mengakibatkan parkir buas dapat menyusut.
Pengurusan parkir diharapkan tidak cuma fokus mengejar pemasukan asli wilayah( PAD). Tetapi, pula buat menyusun kota serta membongkar permasalahan kemacetan. Penguasa diharapkan dapat menuntaskan kasus elementer timbulnya parkir buas ini.
Pengurusan parkir janganlah cuma mengganti yang’ buas’ jadi sah. Ataupun cuma buat mencari pemasukan, ini galat. Penguasa pula wajib berasumsi gimana supaya kantong- kantong parkir pula dapat dikurangi,” ucapnya.
Permasalahan parkir balik jadi pancaran di bunda kota. Banyak pihak memperhitungkan, pengurusan parkir di Jakarta sepanjang ini sangat mengarah pada pendapatan pungutan, tetapi belum memegang pangkal perkara: kemacetan, kedisiplinan, serta kenyamanan khalayak. Situasi ini memunculkan persoalan pokok: buat siapa sistem parkir kota ini dibentuk?
Di alun- alun, panorama alam mobil yang parkir asal- asalan di tepi jalur, kaki lima, sampai menutupi akses masyarakat telah semacam panorama alam setiap hari. Walaupun Biro Perhubungan( Dishub) DKI Jakarta dengan cara teratur melaksanakan razia serta razia, faktanya permasalahan ini tidak sempat betul- betul berakhir. Sementara itu, pengurusan parkir sebaiknya bukan semata- mata pertanyaan sasaran pemasukan wilayah, tetapi pula bagian dari manajemen pergerakan perkotaan.
Parkir Buas: Simptom Sistem yang Lemah
Di beberapa titik penting Jakarta semacam area Tanah Kakak, Senayan, sampai Kemang, parkir buas berkembang produktif. Tidak tidak sering, orang per orang ahli parkir buas( jukir) mematok bayaran sekehendak hati, apalagi lebih mahal dari bayaran sah yang diresmikan penguasa.
Bagi Zulfikar, seseorang masyarakat Tanah Kakak, beliau sering merasa semacam” dikerjai” tiap kali wajib memarkirkan mobilnya di tepi jalur.“ Kadangkala beri uang Rp20. 000 hanya untuk parkir 15 menit. Ingin keluhan khawatir gaduh,” ucapnya.
Permasalahan ini memantulkan lemahnya pengawasan serta pembiaran sistemik. Kehadiran jukir buas sering berhubungan dengan aplikasi percaloan, apalagi orang per orang premanisme yang memiliki backing. Ini bukan lagi semata- mata permasalahan kecil, melainkan telah jadi bagian dari aturan mengurus kota yang kurang baik.
Sasaran Pungutan Parkir yang Menyesatkan
Pemprov DKI Jakarta memanglah menghasilkan pungutan parkir selaku salah satu pangkal Pemasukan Asli Wilayah( PAD). Informasi dari Tubuh Pemasukan Wilayah( Bapenda) DKI membuktikan, sasaran pungutan parkir tahun 2024 menggapai lebih dari Rp 800 miliyar. Tetapi realisasinya, dalam sebagian tahun terakhir, capaian senantiasa meleset jauh dari sasaran.
Pengamat pemindahan dari MTI, Djoko Setijowarno, memperhitungkan pendekatan pengurusan parkir di Jakarta sedang bertabiat kuantitatif.“ Sepanjang sistemnya cuma mengejar nilai, kita hendak lalu berkeliling dalam bundaran permasalahan yang serupa. Parkir wajib diamati selaku perlengkapan otak kemudian rute, bukan cuma mesin duit,” jelasnya.
Djoko pula menerangi kebijaksanaan bayaran parkir liberal yang belum efisien sebab sedikitnya integrasi sistem serta pengawasan. Banyak alat transportasi individu sedang memilah parkir asal- asalan sebab lebih ekonomis serta efisien dibandingkan menjajaki sistem parkir sah yang kadangkala terbatas.
Digitalisasi: Antara Pemecahan serta Formalitas
Semenjak sebagian tahun terakhir, DKI Jakarta mulai mempraktikkan digitalisasi sistem parkir. Sebagian area semacam Jalur Sabang serta Gulungan Meter telah memakai parkir elektronik( e- parking) berplatform aplikasi. Tujuannya nyata: menutup antara kebocoran pungutan serta tingkatkan kejernihan.
Tetapi aplikasi di alun- alun belum seluruhnya efisien. Sistem e- parking kerap bermasalah sebab koneksi kurang baik, perlengkapan cacat, ataupun SDM yang tidak sedia. Apalagi, di sebagian posisi, e- parking berjalan dengan cara paralel dengan jukir buku petunjuk yang senantiasa memungut duit kas dari konsumen.
“ Sistemnya belum matang. Sedang banyak titik yang tidak memiliki prasarana mencukupi. Sedangkan konsumen telah dimohon menyesuaikan diri, tetapi fitur pendukungnya tidak sedia,” kritik Melina Kartika, penggerak perkotaan dari Aliansi Pejalan Kaki.
Baginya, tanpa koreksi dari bagian teknis serta pengawasan, digitalisasi cuma hendak jadi ritual yang tidak memegang akar koreksi layanan khalayak.
Parkir Selaku Perlengkapan Kontrol Mobilitas
Ahli aturan kota Nirwono Joga menekankan berartinya menghasilkan kebijaksanaan parkir selaku bagian integral dari pengaturan pemakaian alat transportasi individu. Beliau memeragakan kota- kota besar semacam Tokyo serta Singapore yang sukses mengatur pergerakan dengan kebijaksanaan parkir kencang serta mahal.
“ Jika parkir gampang serta ekonomis, orang hendak senantiasa seleksi naik mobil individu. Wajib terdapat disinsentif, serta parkir merupakan instrumen kuncinya,” nyata Nirwono.
Beliau pula menganjurkan supaya bayaran parkir di pusat kota dinaikkan dengan cara penting, diiringi ekspansi alam parkir berbayar, dan integrasi penuh dengan sistem pemindahan khalayak.“ Janganlah cuma raih pungutan, tetapi tidak berikan dampak kapok untuk konsumen mobil,” tambahnya.
Butuh Keikutsertaan Masyarakat serta Transparansi
Permasalahan pengurusan parkir tidak dapat dituntaskan cuma oleh Dishub. Butuh keikutsertaan masyarakat, pengelola bangunan, sampai komunitas lokal. Dalam banyak permasalahan, masyarakat dekat malah jadi korban dari sistem parkir yang tidak tertib. Jalur area jadi tempat parkir pengunjung kedai kopi, restoran, sampai kantor.
Desi Anggraini, pimpinan RT di area Cikini, melaporkan keluhannya sebab kaki lima yang dibentuk menawan justru jadi tempat parkir motor.“ Kita telah kerap memberi tahu, tetapi petugas tiba cuma sesekali. Sehabis itu balik lagi semacam lazim,” tuturnya.
Beliau berambisi penguasa berikan ruang kesertaan pada masyarakat dalam mengonsep serta memantau sistem parkir di area mereka.
Jalur Tengah: Pembaruan Keseluruhan Sistem Parkir
Telah waktunya Pemprov DKI Jakarta melaksanakan pembaruan keseluruhan sistem parkir. Ini bukan cuma pertanyaan mengubah perlengkapan ataupun meningkatkan bayaran, tetapi pertanyaan membuat sistem yang seimbang, tembus pandang, serta mengarah pada kebutuhan khalayak.
Langkah- langkah aktual semacam penguatan regulasi, pelibatan swasta dengan cara tembus pandang, kenaikan mutu SDM jukir, sampai integrasi informasi parkir dengan alat transportasi berplatform pelat no wajib lekas direalisasikan.
Lebih dari itu, intensitas penguatan hukum kepada aplikasi parkir buas serta bea bawah tangan wajib jadi prioritas. Tanpa kegagahan buat memutuskan kaitan rente, pengurusan parkir Jakarta hendak lalu dipahami oleh sedikit pihak yang mengutip profit dari kekalutan.
Penutup
Pengurusan parkir di Jakarta tidak bisa lagi sekedar mengejar pungutan. Wajib terdapat perpindahan paradigma kalau parkir merupakan bagian dari ekosistem pergerakan kota yang berkepanjangan. Bila tidak, masyarakat hendak lalu terperangkap dalam daur ketidaknyamanan, serta Jakarta tidak hendak sempat betul- betul beranjak dari sebutan kota macet.