Kejahatan Meja Makan

Kejahatan Meja Makan

Kejahatan Meja Makan – Perkara kecil semacam intensitas pisau dapur serta sayatan bawang yang tidak sempurna di meja makan keluarga Salman.

Persentuhan mula- mulanya dengan perkakas runcing berasal dari omelan- omelan bapaknya di meja makan dikala beliau sedang berumur 9 tahun. Salman ingat benar bentuk wajah gusar bapaknya, cuma sebab bawang goreng yang terhidang bersama lauk lain di meja makan tidak bersuara kriuk- kriuk di mulutnya.” Rasanya semacam kunyah jamur anom saja,” gemam bapaknya saat sebelum terburu- buru melepehkan kunyahannya lewat suatu antara kecil dari balik jendela sisi. Irisan- irisan bawang sangat tebal, serta lebih parah lagi, dimensi tiap- tiap sayatan tidak serupa besar. Tingkatan kedewasaan gorengnya tidak bocor hingga susunan terdalam. Corak kebesaran rupanya tidak sempurna. Beberapa justru lebih layak diucap hitam—lantaran gosong—ketimbang kuning kebesaran. Pemicu penting dari kemarahan itu remeh belaka; pisau dapur yang dipakai bunda buat memotong bawang telah tumpul.

Malam itu pula Salman dimohon ibunya buat berlatih mempertajam pisau dapur. Amat hati- hati ibunya menaruh metal ceper itu di atas batu asahan, dengan sedikit titik berat pada bagian mata pisaunya. Kemudian, beliau mulai menggesek dari dasar ke atas. Awal aksi tangannya lambat- laun serta nampak sedemikian terukur. Tetapi, kian lama kian kilat, agak- agak ibunya telah tidak adem buat lekas memperoleh intensitas maksimum. Suara gesekan mata pisau di atas dataran batu asahan terasa kira- kira mengusik bimbingan pendek mengenai metode kilat mempertajam pisau.” Sehabis menggesek sepanjang 12 menit dengan metode bawah semacam yang bunda contohkan ini, usapkan jempol tanganmu di sebagian bagian mata pisau,” tutur ibunya.” Apabila anda telah merasa semacam memegang butiran- butiran pasir, berarti pisaumu telah sempurna runcing. Mengerti?” Salman menganggut serta tidak memanjangkan tahap bimbingan itu dengan persoalan apa juga.

Sehabis menggesek sepanjang 12 menit dengan metode bawah semacam yang bunda contohkan ini, usapkan jempol tanganmu di sebagian bagian mata pisau.

Salman cuma menginginkan sebagian kali tahap bimbingan sendiri cocok bimbingan pendek itu saat sebelum setelah itu beliau dinobatkan selaku batu canai pisau terbaik dalam keluarga kecil mereka. Sesudah menyandang sebutan itu Salman tidak sempat kurang ingat catatan bunda Mengenai titik berat tangan dikala mempertajam pisau. Bila gesekan sangat kilat, titik berat tangan di atas badan pisau dapat tidak teratasi. Mata pisau dapat meleset serta menyakiti jarimu. Peringatan pertanyaan keamanan jemari dikala mempertajam pisau dapur umumnya timbul sehabis bunda balik mengalami kemarahan papa di meja makan. Bisa jadi sebab sayatan wortel dalam piring sop yang tidak akurasi, sayatan tomat sangat tebal serta tidak nikmat ditatap mata, ataupun sebab analisis mempelam yang bergerigi semacam sisa gigitan tikus.

Naila, adik wanita Salman, terkadang susah menyambut keluhan- keluhan bapaknya dikala mereka memakan persembahan makan malam. Sesuatu kali beliau bilang pada Salman, kalau kepribadian yang terus- terusan mengomel di meja makan karena persembahan tidak menggugah hasrat bisa menghancurkan perasaan bunda.” Rasanya dapat lebih melilit dari perihnya mata bunda dikala memotong bawang,” kata Naila. Telah jadi panorama alam yang lazim untuk kakak- beradik itu melihat bunda mereka memotong bawang di dapur kecil mereka. Nampak sedemikian itu hening, seakan tidak terjalin apa- apa, sementara itu beliau lagi bertahan mengadang rasa melilit di matanya. Air mata bunda yang hingga menetes agaknya bukan lagi sebab bawang yang lagi beliau iris- iris, tetapi sebab karena lain yang jauh lebih sungguh- sungguh.

Anda tidak hendak selamanya jadi batu canai pisau dapur, Salman! Nanti, anda hendak memiliki dapur sendiri.

Seperti itu penyebabnya Naila berulang kali menegaskan, supaya keluarga mereka lekas membeli perlengkapan pengiris bawang ataupun onion slicer. Ketajamannya bisa bertahan dalam durasi lama. Tebal- tipis sayatan bisa diatur cocok kemauan. Profesi dapur bunda, spesialnya dalam masalah iris- mengiris materi olahan, hendak lebih enteng.” Anda tidak hendak selamanya jadi batu canai pisau dapur, Salman! Nanti, anda hendak memiliki dapur sendiri,” tutur Naila, memastikan abangnya.

Walaupun omelan- omelan papa di meja makan bisa mereda dalam sebagian tahun, sebab pisau dapur senantiasa terpelihara ketajamannya oleh Salman, sang batu canai andal, tetapi kala putra anak pertama itu wajib berkelana jauh untuk mencapai era depannya, peristiwa- peristiwa kecil itu balik kesekian. Kabarnya, alasannya tidak lagi semata- mata sayatan bawang yang bila digoreng tidak renyah sampai tidak memunculkan suara kriuk- kriuk di mulut ayah—lantaran pisau dapur telah balik tumpul—tapi sebetulnya terdapat sebab- sebab lain yang setelah itu dengan gampang bisa mencetuskan kemarahan.

Begitu juga dikabarkan Naila pada Salman, papa mereka apalagi tidak segan- segan bawa persembahan bawang goreng dari rumah seseorang wanita. Dengan metode yang amat arogan, beliau menghilangkan persembahan bawang goreng bikinan bunda, kemudian memuji- muji kegurihan bawang goreng bikinan wanita itu. Papa mereka pula sedemikian itu bergairah membanding- bandingkan kesimetrisan sayatan labu siam pada semangkok sayur, yang lagi- lagi dibawanya dari dapur sang wanita belia itu. Di hadapan Naila, papa mereka apalagi memaklumatkan kalau pada kesimpulannya beliau hendak ambil kaki dari rumah itu karena masalah bawang goreng yang tidak menyambangi teratasi.

” Bukankah anda sempat memiliki filosofi kalau permasalahan mereka bisa dituntaskan dengan onion slicer? Mengapa tidak lekas dijalani?” pertanyaan Salman, penasaran.

” Perkaranya bukan lagi pada bawang goreng, Salman!”

” Andaikan pisau dapur telah terasah runcing, bunda tidak hendak memakainya buat memotong bawang, tetapi buat memotong wanita itu. Mengerti?”

” Asal anda ketahui, mereka telah di ambang perpisahan! Anda tidak berkeinginan kembali buat melindungi ikatan mereka?”

” Maaf, Naila. Saya cuma cerdas mempertajam pisau!”

Bertahun- tahun semenjak makan malam terakhir Salman di rumah era kecilnya, dari Naila pula beliau beroleh berita kalau mereka tidak sempat memiliki onion slicer yang dahulu berulang kali dianjurkan adiknya itu. Apalagi sampai di rumah itu yang tertinggal cuma Naila, suami, serta 2 anak mereka, pisau dapur konvensional sedang jadi harapan dalam hal iris- mengiris materi olahan. Salman pula tidak dapat membenarkan, apakah Naila sudah memperoleh metode bawah mempertajam pisau dari almarhum bunda mereka. Beliau cuma luang kembali dikala penguburan ibunya, yang tewas bumi saat sebelum habis era hukumannya. Beliau didiagnosa 6 tahun bui atas cema eksperimen pembantaian, dengan perlengkapan fakta sebilah pisau dapur. Semenjak insiden berdarah yang terjalin di meja makan itu, papa mereka berangkat serta memilah bermukim bersama wanita yang kabarnya amat ahli memotong bawang.

Walaupun telah terpisah jauh, sesekali kakak- beradik itu sedang silih beralih berita melalui percakapan- percakapan di aplikasi catatan pendek. Percakapan mereka terkadang hingga menyinggung pertanyaan rumah tangga Naila yang kelihatannya lagi terletak di ambang bubar.

” Emosinya terus menjadi tidak teratasi, Salman!” erang Naila,” beliau apalagi tidak segan- segan membentakku di hadapan kanak- kanak.”

” Kali ini apa lagi alasannya, Nail?” pertanyaan Salman, bingung.

” Remeh sekali! Cuma sebab bawang goreng bikinanku tidak kriuk- kriuk di dalam mulutnya.”

Salman tidak ketahui, apakah dikala menyebut- nyebut bawang goreng yang tidak kriuk- kriuk di dalam mulut suaminya, Naila memikirkan peristiwa- peristiwa kecil puluhan tahun dahulu di meja makan era anak- anak mereka. Lebih persisnya omelan- omelan papa pada bunda mereka, karena irisan- irisan bawang yang sangat tebal serta rasanya semacam kunyah jamur anom belaka. Keluhkesah berkali- kali yang setelah itu membuat beliau terbiasa berhubungan dengan pisau dapur serta batu asahan.

” Naila, apakah anda tidak sempat berlatih metode memotong bawang pada almarhum bunda?”

” Bila pisau dapurmu terakhir diasah?”

” Anda sedang memiliki batu asahan di situ?”

Obrolan mereka terhambat sejenak. Naila tidak ketahui mana persoalan yang harus beliau jawab terlebih dulu. Sedangkan Salman tidak dapat bersandar bungkam saja. Beliau lekas mengutip pisau dapur, yang tetap diasahnya masing- masing akhir minggu, semacam yang diajarkan oleh almarhum ibunya. Beliau berencana hendak mengirimkan pisau itu ke tujuan rumah era kecil mereka, selaku hadiah balik tahun perkawinan Naila, adik wanita salah satunya. Salman berambisi, Naila bisa memakai pisau dapur dengan intensitas tingkatan besar itu betul- betul buat memotong bawang, bukan buat menusuk rusuk seorang.

Depok, 2025

Damhuri Muhammad, ahli sastra. Penggagas Porch Literary Magazine. Beliau menulis fantasi, artikel seni, dan kolom adat di media- media nasional serta media- media global. Cerpennya,” The Last Portrait Photo Berkas”, tersaring buat pencalonan Pushcart Prize 2023( badan apresiasi kesusastraan buat publikasi minor merek di Amerika Sindikat). Buatan mikrofiksinya bertajuk” Early Morning” sudah diterbitkan dalam suatu antologi bersama dengan judul SWITCH: Anthology of Microfiction( Juni 2024), oleh Gallery of Readers, suatu publikasi yang concern pada fantasi pendek, yang berplatform di Massachusetts, Amerika Sindikat. Damhuri bisa disapa di akun Twitter( X)@damhurimuhammad.

Nano Warsono, artis, akademisi, serta penggerak seni muka. Sudah menjajaki sebagian demonstrasi serta cetak biru seni nasional atau global. Bermukim serta bertugas di Yogyakarta, jadi dosen di Fakultas Seni Muka ISI Yogyakarta serta Ketua Galeri RJ Katamsi. Dikala ini, ciptaannya lagi dipamerkan di Belanda dengan judul Past- Present: Art Schools in Indonesia.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *